Skip to main content

Ponpes di Malang yang Tidak Akan Pernah Berhenti Dibangun

Memasuki Gang Anggur dengan lebar sekitar satu meter, tampak bangunan megah dengan gaya perpaduan Timur Tengah, India, Eropa dan Tionghoa. Masyarakat umum banyak menyebutnya Masjid Tiban atau Masjid Jin yang berlokasi di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Namun, bangunan tersebut sebenarnya Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri 'Asali Fadlaailir Rahmah atau biasa disebut Ponpes Salafiyah Biba'a Fadlrah.

Bangunan Ponpes (sumber: Jawa Pos)

Bangunan itu awalnya rumah tinggal milik perintis, pendiri, pemilik, sekaligus pengasuh ponpes yang bernama Hadlratus Syaich Romo Kyai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam. Orang-orang, biasa memanggilnya Romo Kyai Ahmad.

Karena banyak dijadikan sebagai tempat mempelajari Islam, pada 1978, bangunan itu diresmikan sebagai ponpes. Sejak saat itu, mulai ada pembangunan sedikit demi sedikit. Namun, bangunan masih belum permanen. Konstruksinya hanya menggunakan batu bata merah dan tanah liat. Seiring berjalannya waktu, pada 1998, dimulai pembangunan menggunakan konstruksi permanen. Yakni dengan batu bata merah dan semen.

"Justru saat krisis, kami diminta untuk membangun pondok oleh Romo Kyai Ahmad," ujar salah satu panitia Ponpes Salafiyah Biba'a Fadlrah Kisyanto. Secara logika, memang tidak memungkinkan. Mengingat saat itu, kondisi perekonomian sedang sulit. Mulai saat itu, pembangunan tidak pernah berhenti sampai sekarang.

Bukan tanpa alasan, pembangunan itu memang berdasarkan hasil istikharah Romo Kyai Ahmad ketika menemui permasalahan. "Setelah beliau istikharah, beliau akan diberi petunjuk untuk melaksanakan pembangunan. Sehingga, tidak ada gambarnya sama sekali," kata Kisyanto. Biasanya, Romo Kyai Ahmad hanya akan menyampaikan gambaran umum. Seperti perintah membangun lantai berapa beserta ukurannya.

Petunjuk itu akan disampaikan kepada Kisyanto dan rekan-rekannya. "Saya biasanya menerjemahkan sendiri melalui diskusi bersama beliau. Kalau dalam proses pembangunan ada yang tidak tepat, kami akan konsultasi," lanjutnya. Proses seperti itu terus berlanjut hingga 2023 ini. Bahkan, bangunan itu sudah memiliki 11 lantai.

Seluruh bagian bangunan tersebut belum 100 persen terselesaikan. Sebab, pembangunan dilakukan secara bertahap dan diutamakan dasar bangunannya saja. Di beberapa ruangan pun masih banyak dinding yang belum dicat atau bahkan belum diberi ornamen.

Lantai satu, tampak pajangan akuarium cukup besar dan tempat penjualan cenderamata. Berbagai jenis makanan ringan pun dijual dengan harga terjangkau, sekitar Rp 1.000 hingga Rp 20.000.

Lantai 1 Ponpes (sumber: Jawa Pos)

Di lantai dua sampai enam, terdapat ukiran yang terpahat indah. Kemudian, di lantai tujuh dan delapan, terdapat pusat perbelanjaan atau oleh-oleh yang dikelola para santri. Dan, di lantai sembilan serta sepuluh, pengunjung dapat melihat pemandangan sekitar Kabupaten Malang. Sementara, pembangunan di lantai sebelas masih bertahap.

Kisyanto memaparkan, pembangunan ponpes tersebut tidak akan pernah selesai. Karena, pembangunannya memang berdasarkan permasalahan. Sehingga, selama kehidupan masih berlangsung, permasalahan akan selalu ada. Dan, akan diselesaikan melalui pembangunan.

"Kami diajarkan sama beliau bahwa setiap masalah bersumber dari penyakit hati," jelas laki-laki yang sudah mengabdi di ponpes itu sejak sekitar 30 tahun silam. Sehingga, Romo Kyai Ahmad menyelesaikan permasalahan itu dengan membahagiakan orang lain. "Allah SWT tidak membatasi hamba-Nya untuk menyelesaikan masalah. Jika mau diselesaikan dengan salat, ya, silakan. Tapi, kalau dengan salat kan manfaatnya untuk diri sendiri," lanjutnya.

Namun, jika diselesaikan dengan membuat bangunan, manfaatnya bisa dirasakan berbagai pihak. Misalnya, selain sebagai tempat menuntut ilmu agama dengan santri sekitar 300 orang, bisa juga dimanfaatkan sebagai objek wisata maupun objek penelitian.

Pengunjungnya pun dari berbagai kalangan, utamanya masyarakat muslim yang ingin berwisata religi. Saat Ramadhan, ponpes itu biasanya sangat ramai. Bahkan, ketika malam-malam ganjil, bisa mencapai ribuan pengunjung. Sebab, di sana juga ada kegiatan keagamaan yang bisa diikuti wisatawan.

Bagi yang ingin membeli oleh-oleh, di sepanjang jalan menuju ponpes tersebut juga berjajar UMKM dari desa setempat. Mulai dari souvenir, buah-buahan, hingga makanan ringan pun ada. Harganya terjangkau. Mulai dari sekitar Rp 5.000 hingga ratusan ribu.

UMKM Ponpes (sumber: dokumentasi narasibiasa)


Comments

  1. wow, sudah lantai sebelas saja. dulu pernah kesana awal tahun 2002-an. baru tahu alasan pembangunannya ternyata seperti itu. terima kasih informasinya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Indekos Puri Kencana

Lalu-lalang kendaraan terus menjadi perhatian Nirwana Alfarizqi selama menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari rumahnya. Diperhatikannya kendaraan-kendaraan itu dari samping jendela, sambil terus memikirkan nasibnya selama satu tahun ke depan. Hari itu, dia memakai hoodie hijau tosca yang dipadukan dengan celana kain agak longgar berwarna putih. Hanya pindahan saja, tidak perlu terlalu rapi, pikirnya. Sesekali, dia juga menjawab pertanyaan dari Januar Permana -abangnya- yang sedang menyetir mobil. “Sebentar lagi kita sampai, Wan. Yakin nggak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Janu. Pemuda yang mengenakan kaos hitam dengan celana pendek putih itu tampak santai mengendalikan kemudinya. “Nggak ada. Aman,” jawabnya dengan singkat. Perhatiannya dari lalu-lalang mobil sepertinya sedang tidak bisa diganggu. Dia saja menjawab pertanyaan Janu sambil terus mengarahkan pandangan ke jalan raya. Sesaat itu juga, mobil mereka memasuki Perumahan Puri Kencana. Kompleks perumahan itu dipenuhi rumah be

Tiga Makna Kampung Gasek, Karang Besuki, Kota Malang

Sejak tahun 1987, permukiman di Desa Karang Besuki, termasuk Dusun Gasek memang mulai berkembang pesat. Lahan pertanian yang awalnya sangat luas perlahan dibangun ketika bergabung dengan wilayah administrasi Kota Malang. Penduduk yang mayoritas sebagai petani pun beralih profesi menjadi karyawan swasta maupun asisten rumah tangga. Setelah muncul Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 12 Tahun 2000 tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan, Desa Karang Besuki surah resmi menjadi kelurahan. Oleh karena itu, penyebutan Dusun Gasek sudah diganti dengan Kampung Gasek yang melingkupi RW 6. Kampung Gasek dibagi menjadi 11 RT dan terdiri dari kurang lebih 700 KK. Dari hasil wawancara warga setempat, ahli sejarah, dan literatur, kata gasek memiliki tiga arti. Gasek = Kosek Kampung Gasek ditemukan sebelum masa penjajahan Belanda oleh Mbah Kusumodiarjo. Namun, warga banyak memanggilnya Sentonojati. “Namanya beliau itu bermacam-macam. Ada yang menyebut Kusumodiarjo, ada juga yang menyebut Senton

Penghuni Indekos

Suara ribut dari depan kamarnya membuat tidur Nirwan terganggu. Setelah mengumpulkan seluruh kesadarannya, dia pun keluar kamar untuk melihat kegaduhan yang terjadi. “Lah, kamar ini udah ada penghuninya ternyata,” ucap remaja bercelana pendek warna cokelat selutut dan berkaos hitam lengan pendek. Dia mengucapkan sambil terus memainkan joystick di kedua tangannya. Dibandingkan dua orang lainnya, kulitnya terlihat lebih gelap. Namun, perawakannya terlihat tinggi. Di sampingnya juga duduk remaja dengan perawakan yang sama. Dia memakai celana training warna abu-abu dengan kaos warna senada. Kulitnya pun sama-sama sawo matang, hanya saja sedikit lebih cerah dibanding laki-laki berkaos hitam lengan pendek itu. “Sini, kenalan dulu,” sahut remaja yang juga bercelana pendek selutut, tetapi dia berkaos kuning lengan panjang. Kulitnya sangat cerah, seperti bukan orang asli Indonesia. Wajahnya pun terlihat paling muda di antara dua orang lainnya. Asumsi itu dikuatkan dengan postur tubuhnya yang te