Sejak tahun 1987, permukiman di Desa Karang Besuki, termasuk Dusun Gasek memang mulai berkembang pesat. Lahan pertanian yang awalnya sangat luas perlahan dibangun ketika bergabung dengan wilayah administrasi Kota Malang. Penduduk yang mayoritas sebagai petani pun beralih profesi menjadi karyawan swasta maupun asisten rumah tangga.
Setelah muncul Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 12 Tahun 2000 tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan, Desa Karang Besuki surah resmi menjadi kelurahan. Oleh karena itu, penyebutan Dusun Gasek sudah diganti dengan Kampung Gasek yang melingkupi RW 6. Kampung Gasek dibagi menjadi 11 RT dan terdiri dari kurang lebih 700 KK. Dari hasil wawancara warga setempat, ahli sejarah, dan literatur, kata gasek memiliki tiga arti.
Gasek = Kosek
Kampung Gasek ditemukan sebelum masa penjajahan Belanda oleh Mbah Kusumodiarjo. Namun, warga banyak memanggilnya Sentonojati. “Namanya beliau itu bermacam-macam. Ada yang menyebut Kusumodiarjo, ada juga yang menyebut Sentonojati,” ujar Ketua RW 6 Kelurahan Karang Besuki Sutrisno. Berasal dari Jawa Tengah, Sentonojati dijadikan panutan warga karena dianggap sebagai wali.
Sebagai panutan, semua barang yang dipakainya menjadi istimewa. Salah satunya sandal bernama ‘kosek’. Menurut Sutrisno, kampung tersebut dinamakan Gasek yang berasal dari kata ‘kosek’. “Menurut sejarah di sini, ada sandal zaman dulu, sandal japit, kalep, yang di jempol ada tonjolannya, itu istilahnya ‘kosek’, terus disebut gasek,” jelasnya.
Gasek = Kering
Ada versi lain dari nama Gasek. Budayawan Kota Malang, Suwardono menyatakan, nama Gasek ditentukan menurut kondisi geomorfologinya. Wilayah Gasek dialiri banyak sungai purba. Selain Kali Metro, sungai-sungai wilayah Gasek termasuk kering ketika kemarau. Karena termasuk kering, maka dinamakan Gasek. “Dalam Bahasa Jawa, kering itu namanya Gasek,” ujarnya.
Suwardono menambahkan, Gasek di Malang Raya ada tiga. Yakni, Gasek di Karang Besuki, dan dua dukuh lain yang ada di Singosari. Menurutnya, Gasek tidak pernah di lembah. “Jadi, pemikiran saya, yang namanya Gasek selalu di gunung yang airnya jarang. Kalau musim kemarau, kering kerontang. Gasek saat musim kemarau juga seperti itu.” Suwardono menjelaskan dengan semangat.
Gasek = Desa Pertama
Versi ketiga yakni kata gasek berasal dari kata kuno ‘gasik’ yang disebut dalam Prasasti Pamotoh (1161M). Gasik dalam bahasa Jawa, berarti awal. Dalam hal ini, awal dimaknai sebagai desa pertama di kawasan tersebut. Pendapat itu dikaitkan dengan struktur Candi Badut dan Candi Karang Besuki yang merupakan peninggalan Kerajaan Kanjuruhan. Adanya sumber air dari Sungai Metro, memungkinkan terjadinya pertumbuhan permukiman di kawasan itu. Versi ini ada dalam buku berjudul Toponim Kota Malang karya Ismail Lutfi dan kawan-kawan.
Situs Candi Karang Besuki atau Candi Gasek (sumber: Website Malang Kota) |
Candi Karang Besuki dianggap sangat sakral, khususnya bagi umat Hindu. Menurut Pokdarwis RW 6 Kelurahan Karang Besuki Alfandi, para 'Resi' Bali menyebut jika di dalam candi terkubur abu para raja. Salah satu resi awalnya hanya menduga. Sebelum sampai candi, resi itu berkata, "Pasti di sana ada mata air." Benar saja, di dekat candi memang mengalir enam mata air kecil dan satu mata air besar atau sumber. Sehingga, diyakini, dugaan resi itu benar. Bahwa, di dalam Candi Karang Besuki, terkubur abu para raja.
Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya Situs Watu Gilang yang terletak di Gang Gilang RT 6, RW 6 Dusun Gasek. Situs berbentuk prisma trapesium terbalik itu diyakini sebagai tempat pembakaran jenazah petinggi Kerajaan Kanjuruhan, termasuk raja. Dugaan semakin besar karena jarak situs tersebut hanya berjarak sekitar 300 meter dari Candi Karang Besuki. “Dulu, situs ini dikeramatkan,” ujar Alfandi sambil berjalan menuju gang. “Situs itu namanya Watu Gilang, makanya gang ini dinamakan Gang Gilang,” pungkasnya.
Tradisi Sedekah Bumi
Setiap selo atau dzulqa’dah, ada tradisi tetap sejak zaman nenek moyang. Yaitu tasyakuran atau sedekah bumi di pesarean milik Mbah Kusumodiarjo. Pesarean tersebut juga disebut punden oleh warga kampung. Warga juga biasa menyebutnya dengan bersih desa. Biasanya dilaksanakan setiap Senin Wage. “Selamatannya di area pesarean. Satu kampung membawa tumpeng, waktunya pukul enam pagi,” ujar Sutrisno. Lurah, camat, hingga walikota juga diundang dalam acara ini.
Untuk memeriahkan acara, biasanya ada kesenian, seperti pertunjukan tari remo dan wayang. Terkadang juga mengikuti permintaan pemuda setempat. Jika meminta orkes, juga akan dituruti. Hiburan tersebut dilaksanakan Sabtu atau Minggu sebelum tasyakuran pada Senin Wage. Kemudian, selasa paginya ada khotmil quran, dan ditutup dengan pengajian bersama kyai.
Comments
Post a Comment