Skip to main content

Penghuni Indekos

Suara ribut dari depan kamarnya membuat tidur Nirwan terganggu. Setelah mengumpulkan seluruh kesadarannya, dia pun keluar kamar untuk melihat kegaduhan yang terjadi.

“Lah, kamar ini udah ada penghuninya ternyata,” ucap remaja bercelana pendek warna cokelat selutut dan berkaos hitam lengan pendek. Dia mengucapkan sambil terus memainkan joystick di kedua tangannya. Dibandingkan dua orang lainnya, kulitnya terlihat lebih gelap. Namun, perawakannya terlihat tinggi.

Di sampingnya juga duduk remaja dengan perawakan yang sama. Dia memakai celana training warna abu-abu dengan kaos warna senada. Kulitnya pun sama-sama sawo matang, hanya saja sedikit lebih cerah dibanding laki-laki berkaos hitam lengan pendek itu.

“Sini, kenalan dulu,” sahut remaja yang juga bercelana pendek selutut, tetapi dia berkaos kuning lengan panjang. Kulitnya sangat cerah, seperti bukan orang asli Indonesia. Wajahnya pun terlihat paling muda di antara dua orang lainnya. Asumsi itu dikuatkan dengan postur tubuhnya yang terlihat lebih mungil.

Nirwan pun menghampiri mereka. Dia langsung duduk di sofa, di samping remaja berkulit cerah. Sementara, remaja berkulit sawo matang dan orang di sebelahnya masih asyik bermain play station.

“Gue Renan. Ini Hildan dan ini Jio,” kata pemuda di sampingnya sambil menunjuk dua teman di hadapannya.

Nirwan mengangguk paham, bahwa laki-laki berkaos hitam itu bernama Hildan dan laki-laki berkaos abu-abu itu Jio. “Gue Nirwan,” kata dia.

“Sekolah di mana?” tanya Renan sambil menawarkan keripik kentang kepada Nirwan.

Tidak menolak, Nirwan langsung mengambil dan memakannya. Dia memang sedang lapar. “SMK Teknologi Vision, lo di mana?”

“Oh, sama. Kebetulan, kita bertiga dapat beasiswa untuk sekolah di sana.” Renan menjawab sambil memanggut-manggut.

“Prestasi semua?”

“Iya, cuma bidangnya beda-beda. Jio karena menang kompetisi sains yang diadain Tekvis, Hildan karena nilai rapornya yang stabil, dan gue karena menang kompetisi desain grafis.”

Dalam hati, Nirwan menggumam, “Orang hebat semua.”

“Kalau lo? Reguler apa beasiswa?”

“GOAL! GUE MENANG!”

Belum sempat menjawab, remaja bernama Hildan berteriak dengan sangat kencang. Hingga membuat Renan terkejut sampai menumpahkan kentang gorengnya. Begitu pula dengan Nirwan yang sudah memegang dadanya.

“Anjir!” Jio hanya mampu mengumpat.

“Sumpah, ya, Hildan. Jantung gue mau copot,” ucap Renan.

“Hehehe, sorry, terlalu excited.” Hildan hanya menunjukkan deretan giginya.

Mereka berempat lanjut mengobrol. Berbagai informasi pun diperoleh satu sama lain. Mereka menceritakan latar belakangnya, mulai dari cerita diterima masuk ke sekolah, pekerjaan orang tua, dan sebagainya. Mereka juga tidak lupa meminta kontak masing-masing. Kata Renan, selama tinggal di sana, mereka akan menjadi keluarga. Jadi, tidak ada rahasia di antara mereka. Tentu saja, tetap dengan batas.



Sejak kecil, Renan suka menggambar. Orang tuanya juga sangat mendukung. Ketika ada waktu senggang, mamanya sering mengajak ke galeri seni. Sedangkan, papanya selalu membelikan fasilitas menggambar. Mulai dari pensil warna, crayon, cat air, hingga cat akrilik pun dia punya.

Kemampuan menggambar itu terus diasah. Bahkan, tidak hanya secara manual. Sejak kelas IX, papanya membelikan tab untuk Renan belajar menggambar secara digital. Dengan rajin, dia terus belajar hingga menemukan keinginannya menjadi desainer grafis profesional.

Beruntung, dia diterima di SMK Tekvis yang merupakan sekolah kejuruan unggulan di Jakarta Selatan. Jarak dengan rumahnya yang ada di Jakarta Utara memang jauh, bahkan memerlukan waktu tempuh sekitar 50 menit menggunakan kendaraan bermotor. Itu pun kalau belum terjebak macet. Oleh karena itu, dia memilih tinggal di Indekos Puri Kencana.

Lain cerita dengan Jio yang memilih jurusan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL). Dia memilih jurusan itu tanpa berpikir. Orang tuanya tidak bisa diajak diskusi karena sibuk kerja. Saking bingungnya, dia sampai bertanya kepada sopir keluarganya. “Kalau anak saya kan suka ngitung, Mas, jadi dia waktu itu milih jurusan IPA, terus kuliahnya matematika. Nah, kalau Mas Jio, sukanya apa?”

“Nggak tahu, Pak. Saya sukanya tidur di kelas,” jawab Jio waktu itu. Akhirnya, karena tidak ada cara lain, dia pun memilih jurusan sambil memejamkan mata hingga akhirnya jarinya jatuh pada RPL. Saat itu, dia memang sudah mendapat free pass dari SMK Tekvis, dan dia bebas untuk memilih jurusan yang diinginkan. Lagi pula, dia juga suka bermain game. Bukan tidak mungkin, jika dengan memilih jurusan RPL, dia bisa mengembangkan game sendiri.

Sementara, Hildan diarahkan ayahnya untuk memilih jurusan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ). Kata ayahnya, kalau memilih jurusan itu, peluang kerjanya luas. Hampir semua perusahaan butuh teknisi komputer maupun jaringan. Jadi, setelah lulus nanti, dia tidak terlalu pusing untuk mencari pekerjaan.

Dari kecil, Hildan memang sangat menurut dengan orang tuanya. Bahkan, bisa dibilang, semua yang terjadi di hidupnya sudah ditentukan oleh orang tuanya. Dengan kuasa Tuhan pastinya. Beruntung, otaknya yang cerdas, membuatnya tidak kesulitan menuruti kemauan ibu dan ayah. Bahkan, tidak hanya jurusan, memilih SMK Tekvis pun, tidak jauh dari peran ayahnya. Kebetulan, ibunya juga bekerja sebagai ibu kantin di sana. Setidaknya, dia sedikit mengerti kualitas sekolah tersebut dengan mendengarkan pembicaraan siswa.

Nirwan tidak henti-hentinya takjub dengan cerita teman-temannya. Mereka semua anak hebat dengan caranya masing-masing.

Sebenarnya, dia juga tidak kalah hebat. Dia bisa masuk SMK Tekvis pun karena beasiswa prestasi, yaitu nilai rapor. Sama seperti Hildan. Namun, dia tidak mendapat beasiswa penuh, hanya parsial. Dia hanya memperoleh keringanan tidak membayar SPP. Namun, tetap membayar uang gedung.

Saat memilih jurusan, dia sebenarnya bingung. Namun, kedua kakaknya yang memang sudah berkecimpung di dunia teknologi informasi aktif memberikan saran. Hingga akhirnya, keputusannya jatuh pada RPL.

Di SMK Tekvis memang menyediakan banyak kuota beasiswa prestasi. Satu angkatan dengan pagu sekitar 640 siswa, setidaknya ada kuota 5 persen beasiswa prestasi. Jadi, jika ditotal, setiap angkatan ada 32 siswa yang menerima beasiswa tersebut. Dengan rincian, 16 siswa menerima beasiswa penuh dan 16 siswa lainnya menerima beasiswa parsial. Ketentuan tersebut diperoleh dari sistem perankingan saat mendaftar melalui jalur prestasi.

Comments

Popular posts from this blog

Indekos Puri Kencana

Lalu-lalang kendaraan terus menjadi perhatian Nirwana Alfarizqi selama menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari rumahnya. Diperhatikannya kendaraan-kendaraan itu dari samping jendela, sambil terus memikirkan nasibnya selama satu tahun ke depan. Hari itu, dia memakai hoodie hijau tosca yang dipadukan dengan celana kain agak longgar berwarna putih. Hanya pindahan saja, tidak perlu terlalu rapi, pikirnya. Sesekali, dia juga menjawab pertanyaan dari Januar Permana -abangnya- yang sedang menyetir mobil. “Sebentar lagi kita sampai, Wan. Yakin nggak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Janu. Pemuda yang mengenakan kaos hitam dengan celana pendek putih itu tampak santai mengendalikan kemudinya. “Nggak ada. Aman,” jawabnya dengan singkat. Perhatiannya dari lalu-lalang mobil sepertinya sedang tidak bisa diganggu. Dia saja menjawab pertanyaan Janu sambil terus mengarahkan pandangan ke jalan raya. Sesaat itu juga, mobil mereka memasuki Perumahan Puri Kencana. Kompleks perumahan itu dipenuhi rumah be

Tiga Makna Kampung Gasek, Karang Besuki, Kota Malang

Sejak tahun 1987, permukiman di Desa Karang Besuki, termasuk Dusun Gasek memang mulai berkembang pesat. Lahan pertanian yang awalnya sangat luas perlahan dibangun ketika bergabung dengan wilayah administrasi Kota Malang. Penduduk yang mayoritas sebagai petani pun beralih profesi menjadi karyawan swasta maupun asisten rumah tangga. Setelah muncul Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 12 Tahun 2000 tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan, Desa Karang Besuki surah resmi menjadi kelurahan. Oleh karena itu, penyebutan Dusun Gasek sudah diganti dengan Kampung Gasek yang melingkupi RW 6. Kampung Gasek dibagi menjadi 11 RT dan terdiri dari kurang lebih 700 KK. Dari hasil wawancara warga setempat, ahli sejarah, dan literatur, kata gasek memiliki tiga arti. Gasek = Kosek Kampung Gasek ditemukan sebelum masa penjajahan Belanda oleh Mbah Kusumodiarjo. Namun, warga banyak memanggilnya Sentonojati. “Namanya beliau itu bermacam-macam. Ada yang menyebut Kusumodiarjo, ada juga yang menyebut Senton