Skip to main content

Indekos Puri Kencana

Lalu-lalang kendaraan terus menjadi perhatian Nirwana Alfarizqi selama menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari rumahnya. Diperhatikannya kendaraan-kendaraan itu dari samping jendela, sambil terus memikirkan nasibnya selama satu tahun ke depan.

Hari itu, dia memakai hoodie hijau tosca yang dipadukan dengan celana kain agak longgar berwarna putih. Hanya pindahan saja, tidak perlu terlalu rapi, pikirnya. Sesekali, dia juga menjawab pertanyaan dari Januar Permana -abangnya- yang sedang menyetir mobil.

“Sebentar lagi kita sampai, Wan. Yakin nggak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Janu. Pemuda yang mengenakan kaos hitam dengan celana pendek putih itu tampak santai mengendalikan kemudinya.

“Nggak ada. Aman,” jawabnya dengan singkat. Perhatiannya dari lalu-lalang mobil sepertinya sedang tidak bisa diganggu. Dia saja menjawab pertanyaan Janu sambil terus mengarahkan pandangan ke jalan raya.

Sesaat itu juga, mobil mereka memasuki Perumahan Puri Kencana. Kompleks perumahan itu dipenuhi rumah berumuran 9x15 meter. Setelah melaju sekitar dua menit, mereka pun tiba di depan rumah yang akan ditempati Nirwan selama satu tahun mendatang.

Menurut Nirwan, rumah itu tidak seburuk bayangannya. Seperti rumah di perumahan pada umumnya yang terawat. Ukurannya juga lumayan. Tanaman hias di halaman depat pun turut mempercantik tampak depan rumah berwarna cokelat muda itu. Di dekat halaman itu, terdapat tempat parkir. Sudah ada tiga motor yang terparkir dengan rapi. 

Setelah memantapkan hatinya, remaja berusia 15 tahun itu pun turun dari mobilnya. Disusul oleh Janu yang kemudian membuka bagasi mobil dan menurunkan tiga mobil milik adiknya. Kemudian, Nirwan menyeret satu koper, sedangkan Janu dua koper menuju rumah itu.

“Selamat pagi,” sapa Janu setelah mengetuk pintu.

Tidak lama, seorang perempuan paruh baya membukakan pintu. Namanya Sekar. Dia memakai gamis biru muda yang dipadukan dengan jilbab panjang berwarna navy. Melihat penampilannya, Nirwan yakin jika dia adalah pemilik rumah yang dijadikan indekos tersebut.

“Oh, Kak Janu. Ini pasti adiknya yang mau ngekos di sini, ya … ayo, masuk, masuk.” Perempuan itu menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Dia pun membimbing langkah Janu dan Nirwan. Hanya beberapa langkah, mereka tiba di depan ruangan yang sepertinya akan menjadi kamar Nirwan.

“Ini yang akan menjadi kamar … maaf, namanya siapa?” tanya perempuan itu setelah membukakan pintu.

“Saya Nirwan, Bu,” ucap Nirwan.

Sekar mengangguk. “Ini yang akan menjadi kamar Nirwan. Secara ukuran, kamar ini jadi yang terluas. Ukurannya 3x3,5 meter. Tempat tidurnya juga paling besar. Kalau kamar mandinya, nanti sharing sama teman di sebelah, ya.”

Nirwan hanya mengangguk pasrah. Mau protes juga percuma. Ayahnya sudah membayar indekos tersebut. Dia pun meletakkan koper-kopernya ke dalam kamar itu. Lanjut, Nirwan diajak Sekar untuk berkeliling rumah tersebut, hanya untuk mengenalkan bagian-bagian rumah. Termasuk dua kamar mandi sekaligus toilet dan halaman belakang yang menurutnya tidak terlalu luas.

Setelah berkeliling, Nirwan dan Janu duduk di ruang tamu, tentunya bersama Sekar. “Oh iya, Bu. Waktu survei lokasi kemarin, ada yang lupa saya tanyakan. Keamanan di sini bagimana, ya?” tanya Janu.

“Insyaallah cukup aman. Di sini one gate system. Jadi, semua kendaraan hanya bisa masuk dari satu pintu gerbang. Satpam di gerbang depan selalu berjaga 24 jam. Kalau ada apa-apa, bisa langsung menghubungi kontak yang saya tempel di kulkas,” ucap Sekar.

Janu hanya mengangguk paham. Dia menoleh ke Nirwan yang duduk di sampingnya. “Ada yang ditanyain ke Bu Sekar, nggak?” tanyanya.

Nirwan hanya menggeleng. Dia benar-benar pasrah menerima nasibnya yang seperti dibuang dari rumah.

“Oke, Bu. Untuk sementara, itu dulu yang saya tanyakan. Pembayarannya sudah saya transfer kemarin, ya, Bu,” kata Janu dengan sopan.

“Iya, sudah, Kak. Kalau tidak ada yang ditanyakan, saya permisi dulu,” kata Sekar sembari beranjak dari kursinya. “Oh iya, pagi tadi juga sudah ada tiga orang yang datang. Mungkin, saat ini mereka masih beristirahat di kamar masing-masing. Nanti kalian bisa berkenalan,” lanjutnya.

Nirwan dan Janu hanya mengangguk paham. Setelah Sekar keluar rumah, Janu pun turut beranjak. “Gue tinggal dulu, ya, Wan. Kalau ada apa-apa, langsung hubungin gue atau dua kakak yang lain,” ucapnya. Setelah melihat Nirwan mengangguk, laki-laki dengan tinggi 179 sentimeter itu langsung keluar dan meninggalkan adiknya.

Dengan langkah lesu, Nirwan melangkah ke kamar barunya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke kasur berukuran 160x200 sentimeter itu. Pandangannya menatap kosong langit-langit kamar berwarna putih polos. Terlalu lelah, dia pun akhirnya tertidur.

Comments

Popular posts from this blog

Tiga Makna Kampung Gasek, Karang Besuki, Kota Malang

Sejak tahun 1987, permukiman di Desa Karang Besuki, termasuk Dusun Gasek memang mulai berkembang pesat. Lahan pertanian yang awalnya sangat luas perlahan dibangun ketika bergabung dengan wilayah administrasi Kota Malang. Penduduk yang mayoritas sebagai petani pun beralih profesi menjadi karyawan swasta maupun asisten rumah tangga. Setelah muncul Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 12 Tahun 2000 tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan, Desa Karang Besuki surah resmi menjadi kelurahan. Oleh karena itu, penyebutan Dusun Gasek sudah diganti dengan Kampung Gasek yang melingkupi RW 6. Kampung Gasek dibagi menjadi 11 RT dan terdiri dari kurang lebih 700 KK. Dari hasil wawancara warga setempat, ahli sejarah, dan literatur, kata gasek memiliki tiga arti. Gasek = Kosek Kampung Gasek ditemukan sebelum masa penjajahan Belanda oleh Mbah Kusumodiarjo. Namun, warga banyak memanggilnya Sentonojati. “Namanya beliau itu bermacam-macam. Ada yang menyebut Kusumodiarjo, ada juga yang menyebut Senton

Penghuni Indekos

Suara ribut dari depan kamarnya membuat tidur Nirwan terganggu. Setelah mengumpulkan seluruh kesadarannya, dia pun keluar kamar untuk melihat kegaduhan yang terjadi. “Lah, kamar ini udah ada penghuninya ternyata,” ucap remaja bercelana pendek warna cokelat selutut dan berkaos hitam lengan pendek. Dia mengucapkan sambil terus memainkan joystick di kedua tangannya. Dibandingkan dua orang lainnya, kulitnya terlihat lebih gelap. Namun, perawakannya terlihat tinggi. Di sampingnya juga duduk remaja dengan perawakan yang sama. Dia memakai celana training warna abu-abu dengan kaos warna senada. Kulitnya pun sama-sama sawo matang, hanya saja sedikit lebih cerah dibanding laki-laki berkaos hitam lengan pendek itu. “Sini, kenalan dulu,” sahut remaja yang juga bercelana pendek selutut, tetapi dia berkaos kuning lengan panjang. Kulitnya sangat cerah, seperti bukan orang asli Indonesia. Wajahnya pun terlihat paling muda di antara dua orang lainnya. Asumsi itu dikuatkan dengan postur tubuhnya yang te