Pemandangan macet sudah umum di Kota Malang, terlebih ketika jam pulang kerja. Di tengah macetnya jalanan, nampak seorang laki-laki berjalan di trotoar. Kemudian, dia menghentikan langkahnya kala melihat bilik berisi berbagai macam lukisan di antara jajaran ruko tepi jalan. "Andai tempat ini lebih besar, pasti sudah pantas disebut galeri lukis," ujarnya dalam hati. Wajar saja, berbagai macam aliran lukisan terpajang dengan rapi. Naturalisme, realisme, surealisme, bahkan abstrak pun ada di sana.
Kakinya pun melangkah memasuki galeri mini itu. Penjaga laki-laki pun dengan ramah menyambutnya di dekat pintu layaknya resepsionis hotel atau rumah sakit. Di dalam sana, laki-laki berkaus putih dilapisi outer flanel kotak-kotak itu melihat sebuah tangga sebagai penghubung lantai dasar dengan lantai dua.
Laki-laki itu naik ke atas usai meminta izin pada penjaga. Begitu tiba di lantai dua, mendadak, tubuhnya menggigil. Udara dingin seakan langsung masuk ke tubuhnya. Sejak di lantai dasar, sebenarnya dia sudah merasakan adanya perbedaan suhu. Dari yang sebelumnya panas menjadi edikit sejuk. Awalnya, dia menganggap, itu hanya efek AC yang dinyalakan. Namun, suhu di lantai dua ini lebih dingin lagi. Hingga dia mengancingkan seluruh kancing di kemeja flanelnya.
Meski begitu, rasa dingin itu kalah dengan pemandangan di hadapannya. Matanya langsung terbuka lebar, mengagumi dekorasi ruangan persegi panjang dengan dinding bernuansa putih yang memiliki sekat berupa papan kayu itu. Tatanannya hampir seperti perpustakaan, hanya saja, ruangan itu dipenuhi lukisan.
Penataan lukisan di lantai dua ini jauh lebih rapi dari lantai pertama. Lukisan-lukisan ditempel pada dinding dan sekat-sekat dengan sangat teratur. Di pojok dinding juga terdapat lukisan yang masih diletakkan di penyangganya. Entah karena belum selesai, atau memang konsep penataannya seperti itu.
Dia kemudian mengelilingi galeri mini itu. Mulutnya tak henti-henti melontarkan pujian terhadap setiap karya. Dia terus berjalan hingga langkahnya terhenti di dinding belakang. Matanya menatap lukisan di pusat dinding.
Lukisan langit malam dengan bulan sabit bersama bintang. Di bagian bawah langit terdapat anak laki-laki dan perempuan yang sedang mengamati bulan dan bintang melalui jendela. Mungkin terlihat biasa, tetapi yang membuat laki-laki itu tertarik adalah adanya siluet laki-laki dan perempuan yang duduk di lengkungan bulan.
Ketika sedang asyik memandang lukisan itu, matanya melihat perempuan bergaun putih selutut lengan panjang. Tangannya menggunakan sarung tangan yang dipenuhi oleh noda cat. Melihat penampilannya, dia menganggap jika perempuan itu merupakan pelukis atau bahkan pemilik galeri.
Dia pun memanggilnya, “Kak!”
Perempuan itu celingukan dan sempat menatap bingung ke arah laki-laki berambut cepak itu. “Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanya setelah menetralkan pikirannya.
“Mmm... kalau boleh tahu, apa lukisan ini bisa saya beli?” tanya laki-laki itu dengan sopan.
Gadis itu pun melepas sarung tangannya. Langkahnya menghampiri laki-laki itu. “Atas dasar apa Kakak ingin membelinya?” Gadis itu malah balik bertanya.
“Ibu saya meninggal saat saya berusia enam tahun. Sebelum ibu saya mengembuskan napas terakhir, beliau berkata, ‘Jika kau merindukanku, lihatlah langit malam. Aku di sana bersama bulan dan bintang. Aku akan selalu melihatmu dari sana.’ Sejak itu, saya sangat menyukai langit malam, bahkan sampai dewasa, saya masih sering menatap langit malam.
Namun, akhir-akhir ini, pekerjaan saya membuat saya tidak memiliki waktu luang. Saya selalu berada di ruangan ber-AC yang tertutup hingga membuat saya sulit untuk melihat indahnya langit malam. Karenanya, saya sangat ingin memiliki lukisan ini agar saya bisa melihat langit malam bahkan di siang hari sekalipun.
Menurut pandangan saya, lukisan itu menceritakan dua orang anak yang sedang merindukan orang tuanya. Karena orang tuanya sudah tiada, mereka hanya mampu melihat melalui langit.” Laki-laki berusia sekitar 25 tahun itu menjelaskan dengan panjang.
Perempuan itu tersenyum, lalu berkata, “Saya memberikan lukisan ini pada Kakak.”
“Mengapa begitu? Saya mampu membayar berapapun harga yang Kakak mau.”
“Tempat ini tidak menjual lukisan, Kak,” jawabnya sambil tersenyum.
“Tapi... mengapa? Diizinkan untuk memotret saja saya sudah bersyukur. Mengapa Kakak memberikan kepada saya?”
“Karena saya ingin membuat para pengunjung merasa spesial. Hanya orang-orang spesial yang bisa melihat lukisan-lukisan ini.”
Laki-laki itu mengernyitkan dahi, tidak memahami maksud gadis di sampingnya itu. “Hmm... jadi, lukisan ini bisa langsung saya bawa?” Tidak ingin ambil pusing, dia hanya melakukan konfirmasi.
“Tentu saja.”
“Baiklah. Terima kasih akan hadiah yang menakjubkan ini.”
Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama. Cepat pulang, Kak. Kakak sudah terlalu lama di tempat ini," ucapnya. "Oh iya, nanti kalau sudah keluar, jangan menoleh ke belakang lagi, ya, Kak," imbuhnya
Meski sempat bingung dengan ucapan si gadis, laki-laki itu pun langsung keluar, tanpa menanyakan maksud ucapannya. Begitu kakinya menginjak trotoar lagi, suhu panas langsung mnyengat. Sangat berbanding terbalik dengan suhu di dalam galeri tadi.
Namun, dia tidak peduli lagi. Dia langsung berjalan ke arah rumahnya. Langkahnya terasa sangat ringan, senyumnya pun terus merekah yang menandakan dia kembali semangat.
Begitu sampai rumah, dia terkejut ada banyak orang di sana. Semua saudara bahkan teman-temannya sebanyak lima orang ikut berkumpul.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya begitu memasuki pintu.
“Ya Tuhan, Kenan. Kau dari mana saja, Nak?” tanya bibinya sambil memeluk tubuh laki-laki yang dipanggil Kenan itu sambil menangis. Semua orang yang terduduk lemas di sana langsung berdiri.
“Hah? Aku baru dari galeri lukisan mini yang terletak di dekat perempatan jalan raya depan kompleks, Bi. Aku tadi dikasih lukisan ini.” Kenan pun menjelaskan semua yang dialaminya dengan sangat antusias.
“Galeri? Mana ada galeri di sekitar sini, Ken?” Pamannya menanggapi.
Kenan baru sadar. Bertahun-tahun tinggal di lingkungan itu, memang baru pertama kali dia melihat ada galeri lukis di perempatan itu. Ingatannya pun berputar ketika berada di dalam galeri. Suhu terlampau dingin, tidak ada debu menempel, orang-orang spesial, hingga ucapan terakhir gadis yang ditemuinya di dalam galeri. Dan, dia baru merasakan, jika semua itu memang sangat tidak umum di Kota Malang yang akhir-akhir ini sangat panas.
“Kau tahu, sudah berapa lama kau di sana?” tanya Theo, salah satu temannya.
“Sekitar dua jam? Aku ke sana pukul empat dan sekarang pukul enam.” Kenan menjawab dengan sedikit ragu.
“Serius? Tidak ada yang aneh dengan tempat itu?” tanya Winata, temannya yang lain.
"Banyak...." Kenan mulai terbata.
“Sekarang, lebih baik kau lihat, ini tanggal berapa?” Dirga yang merupakan salah satu temannya ikut menimpali.
“Ponselku mati,” sahut Kenan. Tangannya mulai gemetar.
“Nih, lihat ponselku.” Rain –temannya memberikan ponselnya.
“Astaga, sudah Senin.” Kenan terkejut. Dia keluar rumah ketika Jumat pukul 16.00 setelah menyelesaikan pekerjaan proyeknya. Saat itu, dia sangat mengantuk dan memutuskan untuk keluar rumah untuk menghirup udara luar setelah berhari-hari lembur. Hingga, ketika pulang, dia tertarik untuk memasuki galeri itu dan berakhir menghilang selama tiga hari.
Semua orang yang ada di sana hanya mampu melihatnya tanpa berkata apapun. Sejak hari itu, Kenan langsung sakit selama tiga hari. Badannya demam dan menggigil. Kata dokter, dia hanya kelelahan dan banyak tekanan. Memang, sebelum menuju ‘galeri mini’ itu, Kenan begadang selama dua hari berturut-turut.
END.
Comments
Post a Comment